Pemikiran ekonomi Islam mulai berkembang sejak Nabi Muhammad SAW memasukkan nilai-nilai ekonomi Islam yang beretika dalam transaksi perdagangan di masa itu. Dari teladan Rasulullah itupun berkembang pemikiran-pemikiran ekonom klasik terkait kegiatan ekonomi manusia sehari-hari. Pasca wafatnya Rasulullah SAW pemerintahan berkembang di bawah era Khulafaur Rasyidin, termasuk didalamnya pemikiran ekonomi yang dimotori oleh para khalifah. Hingga kemudian pemberontakan yang terjadi di akhir masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib menimbulkan era baru di masa pemerintahan Islam, yaitu Bani Umayyah. Di masa pemerintahan Bani Umayyah yang bertahan selama 91 tahun ini juga tumbuh pemikiran ekonom klasik, mulai dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Asy Syaibani, Al Awza‟i,dan Malik bin Anas. Namun kekuasaan Bani Umayyah akhirnya runtuh karena adanya pengelompokan kebangsaan yang mementingkan orang Arab dan lemahnya kepemimpinan khalifah yang terbiasa hidup mewah.
Kendati masa pemerintahan Bani Umayyah telah berakhir, para ekonom di masa itu mewarisi sejumlah pemikiran ekonomi yang turut pula bersumbangsih terhadap pemikiran dan ide ekonomi yang berkembang di masa setelahnya. Setelah Bani Umayyah pemerintahan Islam dipegang oleh Bani Abbasiyah yang pembentukannya dipelopori oleh keturunan paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abbas ibn Abdul Muthalib. Di masa Bani Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad sejarawan membagi periode pemerintahan menjadi dua bagian, yaitu fase kegemilangan Abbasiyah yang berlangsung antara 750-847 Masehi, dan fase kemunduran (847-1258 Masehi) karena banyaknya pengaruh kekuasaan yang mewarnai pemerintahan Bani Abbasiyah di masa itu, mulai dari pengaruh Persia dan juga Turki akibat penerapan sistem pemerintahan yang desentralistik.
Di masa pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad, sejumlah khalifah tercatat berhasil membawa masyarakat menuju kemakmuran dan pemerintahan pun tertata dengan baik dengan membentuk beberapa lembaga untuk membantu jalannya pemerintahan. Khalifah-khalifah tersebut diantaranya adalah Abu Ja‟far Manshur, Al Mahdi dan Harun Al-Rasyid. Abu Ja‟far Manshur dinilai sebagai peletak dasar pemerintahan Abbasiyah dengan mengembangkan wazir yang berperan seperti menteri. Al Mahdi meneruskan pemerintahan dengan membangun infrastruktur yang mendukung kegiatan perekonomian, seperti tempat peristirahatan bagi para kafilah dagang, membangun sumur dan bendungan serta mendirikan armada dagang.
Masa pemerintahan Abbasiyah mencapai puncak kegemilangannya dibawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid. Ia memaksimalkan sumber pendapatan negara dan mengeluarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ketika banyak wilayah yang memisahkan diri dari pemerintahan. Kepemimpinan khalifah di periode terakhir Abbasiyah yang lemah, munculnya sejumlah gerakan pemberontakan dan dominasi militer yang menyetir kekuasaan khalifah menjadi salah satu penyebab mundurnya dinasti Bani Abbasiyah.
Sebab-sebab kehancuran pemerintahan Abbasiyah sebagai berikut:
Munculnya pemberontakan keagamaan seperti pemberontakan Zinj, gerakan Qaramithah, Hasyasyiyun, serta munculnya gerakan Ubaidiyah dan gerakan kebatinan.
Adanya dominasi militer atas khilafah dan kekuasaan mereka sehingga banyak menghinakan dan merendahkan para khalifah dan rakyat.
Munculnya kesenangan terhadap materi karena kemudahan hidup yang tersedia saat itu.
Sesungguhnya faktor paling berbahaya yang menghancurkan pemerintahan Abbasiyah adalah karena mereka telah melupakan salah satu pilar terpenting dari rukun Islam, yakni jihad. Andaikata mereka mengarahkan potensi dan energi umat untuk melawan orang-orang salib, tidak akan mungkin muncul pemberontakan-pemberontakan yang muncul di dalam negeri yang ujungnya hanya menghancurkan pemerintahan Abbasiyah.
Muncul serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri perjalanan pemerintahan Abbasiyah.
Pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad berakhir pada tahun 1258 M usai serbuan bangsa Mongol. Namun masa kekhalifahan Islam lantas tidak berakhir begitu saja. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang meluas sampai ke Afrika Utara tidak seluruhnya dikuasai Mongol. Wilayah Islam yang lolos dari serangan Mongol adalah Mesir yang dikuasai oleh dinasti Mamalik. Pasukan Mamalik yang dipimpin al-Muzhafar Saifuddin Qathaz membangun kekuatan untuk menghadapi bangsa Mongol bersama dengan bantuan para ulama dan rakyat. Semangat jihad yang semula luntur di akhir pemerintahan Abbasiyah I pun kembali digiatkan. Pasukan Qathaz dan Mongol bertemu dalam perang di wilayah yang bernama Ain Jalut. Dalam perang ini kaum muslim berhasil meraih kemenangan dan bangsa Mongol akhirnya juga menganut agama Islam. Kesuksesan itu pulalah yang membuka dimulainya pemerintahan Abbasiyah II.
Kondisi ini semakin kondusif bagi dinasti Mamalik untuk melakukan berbagai reformasi internal. Diantaranya yang terpenting dan menjadi babak baru dalam sejarah Islam adalah membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, Khilafah Abbasiyah yang dihancurkan di Baghdad, berhasil dibangkitkan kembali oleh Dinasti Mamalik dengan Kairo sebagai pusatnya.2 Berkat jasa dinasti Mamalik inilah khilafah Bani Abbasiyah bangkit kembali, yang kemudian disebut Bani Abbasiyah II. Masa pemerintahan Abbasiyah jilid II ini berlangsung selama hampir 2,5 abad dari 1261-1501 Masehi.
Perpindahan ibukota Bani Abbasiyah II ke Kairo pun memberi keuntungan tersendiri bagi perkembangan pemerintahan karena berada di jalur perdagangan Asia dan Eropa. Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi taman yang subur bagi berkembangnya ilmuwan-ilmuwan muslim. Sejarah mencatat, banyak ilmu pengetahuan berkembang pada masa ini seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, ekonomi, dan ilmu agama. Menurut catatan sejarah – tercatat pada masa Abbasiyah II ini – tidak kurang terdapat 203 fukaha, sufi dan ahli filsafat.3 Ilmu pengetahuan dan filsafat tetap terus berkembang di masa itu.
Sejumlah ekonom Islam yang menyumbangkan pemikiran ekonominya di periode Abbasiyah II adalah Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Al Maqrizi, Asy Syatibi, dan Shah Waliyullah.
Ibnu Taimiyah (1263 – 1328 M)
Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim. Ia lahir di Kota Harran pada 22 Januari 1263 M atau bertepatan dengan 10 Rabiul Awal 661 H. Ayah dan Paman Ibnu Taimiyah merupakan ulama besar mazhab Hambali. Guru yang mendidik Ibnu Taimiyah diantaranya Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir. Pada usia 17 Tahun, Ibnu Taimiyah diminta gurunya mengeluarkan fatwa dan diminta pemerintah menjadi kepala kantor pengadilan. Ibnu taimiyah empat kali dipenjara karena fitnah, kemudian menulis dengan pena ataupun batu arang ia meninggal dunia pada tanggal 26 September 1328 M atau bertepatan dengan 20 Dzulqaidah 728 H. Karyanya antara lain Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar‟iyyah fi Ishlah ar-Ra‟i wa ar-Ra‟iyah, dan al-Hisbah fi al-Islam.
Pemikiran Ibnu Taimiyah pada umumnya adalah keadilan dalam segala hal, yang terdapat dalam Al-Qur‟an (QS.16:90, QS.4:58, QS.5:8, QS.57:25, QS.11:85). Ia menyatakan bahwa riba menjadi sumber harga penjualan suatu produk menjadi mahal seperti yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. secara umum, ia sependapat dengan para fuqoha yang menyatakan bahwa harga yang adil sama dengan harga setara, seperti yang ia katakan “Kompensasi yang Setara akan Diukur dan Ditaksir oleh hal-hal yang Setara, dan Inilah Esensi Keadilan.” Perbedaan antara “kompensasi” dan “harga” adalah bahwa “kompensasi” digunakan untuk menelaah pada sisi Legal-Etik, sedangkan “harga” untuk menelaah pada sisi Ekonomi, serta “kompensasi” untuk pedoman masyarakat dan hakim yang adil, sedangkan “harga” panduan bagi kebijakan ekonomi. Hal inin ditegaskan dalam pernyataannya “Jumlah yang tertera dalam suatu akad ada dua macam. Pertama, jumlah yang telah dikenal baik di kalangan masyarakat. Jenis ini telah dapat Diterima Secara Umum. Kedua, jenis yang tidak lazim sebagai akibat dari adanya peningkatan atau penurunan kemauan (rugbah) atau faktor lainnya. Hal ini dinyatakan sebagai Harga yang Setara.”
Upah yang adil menurut Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga yang berlaku di pasar tenaga kerja dan menggunakan istilah upah yang setara. Kuantitas dan kualitas dalam pasar tenaga kerja harus jelas agar terhindar dari spekulasi. Permintaan dan penawaran tenaga kerja yang utama, jika tidak terjadi maka penguasa bertanggung jawab. Hal ini ditegaskannya dengan mengatakan “Upah yang Setara akan ditentukan oleh upah yang telah diketahui (musamma) jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jual atau sewa, harga yang telah diketahui (tsaman musamma) akan diperlakukan sebagai harga yang setara.”
Dalam konsep laba yang adil, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa boleh mengambil keuntungan berapa pun yang diterima secara umum selama tidak merugikan orang lain, misal saja untuk orang miskin diberi kemudahan atau lebih murah dan tidak eksploitatif, atau seluruh kebutuhan dasar diatur oleh pemerintah. Sebagaimana yang ia katakana “Seorang pedagang tidak boleh mengenakan keuntungan yang lebih besar kepada orang yang tidak sadar daripada dikenakan kepada orang lain. Dalam hal yang sama, membeli barang-barang guna memenuhi kebutuhan hidupnya, yang berarti permintaannya bersifat inelastis, penjual harus menetapkan keuntungan yang sama dengan keuntungan yang diperoleh dari orang lain yang tidak sebutuh orang tersebut.”
Dalam konsep mekanisme pasar Ibnu Taimiyah mengatakan “Naik dan Turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Di sisi lain, apabila persediaan barang meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun. Kelangkaan atau Kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau terkadang, ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hal ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan di hati manusia.”
Dalam hal regulasi harga, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pasar persaingan sempurna akan hadir manakala terdapat sikap yang jujur, titik keseimbangan yang berasal dari permintaan dan penawaran, dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak ada paksaan, serta „adil‟ dalam kondisi tertentu. Kemudian, jika terjadi pasar tidak sempurna maka perlu ada intervensi pemerintah dalam kondisi monopoli, monopsoni, dan beberapa kondisi pasar tidak sempurna. Proses penetapan harga menurut Ibnu Taimiyah dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat, dilakukan oleh penguasa, pengusaha, dan tokoh masyarakat.
Dalam teori uang dan moneter, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fungsi uang adalah pengukur nilai dan media pertukaran barang yang berbeda. Perdagangan uang tidak boleh karena dapat menghilangkan fungsi uang yang sesungguhnya. Pertukaran uang harus simultan (taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Cetak uang harus adil (proporsional) karena dapat menurunkan nilai mata uang dan mendorong inflasi. Penguasa harus menjaga nilai intrinsik dengan nilai nominal uang harus seimbang. Perubahan bentuk fisik mata (misal dari perak ke tembaga) uang harus dilakukan secara bertahap dan tidak mendakak, agar mata uang sebelumnya masih tetap terjaga nilainya dan tidak menjadi barang yang tidak bermanfaat.
2. Ibnu Khaldun (732 – 808 H / 1332 – 1406 M)
Ibnu Khaldun memiliki nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 M atau bertepatan dengan bulan Ramadhan 732 H. ibnu Khaldun memiliki hubungan darah dengan sahabat Rasul Wail bin Hajar. Guru Ibnu Khaldun antara lain Abu Abdillah Muhammad bin Al-Arabi Al-Hashayiri, Abu Al-Abbas Ahmad ibn Al-Qushshar, Abu Abdillah Muhammad Al-Jiyani, dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ibrahim Al-Abili. Ia berasal dari keluarga aristokrat yang tidak pernah menjadi “anggota penuh” masyarakatnya. Ia mendapatkan gelar Master of The Seal saat masih berusia 20 tahun. Ibnu Khaldun pernah merasakan hidup di istana dan penjara, kaya ataupun miskin, hingga menjadi buronan dan menteri. Pada masa pensiunnya tahun 1375 – 1378 M, Ibnu Khaldun mulai menulis Muqaddimah. Ia menjadi Guru Besar Ilmu Hukum di Iskandariah pada tahun 1382 M. Ibnu Khladun Meninggal dunia pada tanggal 17 Maret 1406 M di Kairo. Karyanya antara lain Al-Ibar (Sejarah Dunia), yang terdiri dari Muqaddimah (1 volume), Al-Ibar (4 volume), dan Al-Ta‟rif bi Ibn Khaldun (2 volume).
Pemikiran ekonomi Islam yang utama dilahirkan oleh Ibnu Khaldun adalah teori produksi. Ia berpendapat bahwa faktor produksi yang utama adalah manusia. Manusia harus beproduksi untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia pun harus mengorganisasikan faktor produksi yang ada, seperti modal, tenaga, dan skill. Manusia bekerjasama dalam produksi akan menghasilkan produksi agregat dan surplus produksi. Pembagian kerja (produksi) Internasional (spesialisasi) tidak didasarkan pada keunggulan sumber daya alam, tetapi pada keunggulan seumber daya manusia (skill). Semakin besar populasi yang aktif dan produktif dalam suatu negara, maka kapasitas produksi makin besar hingga bisa ekspor yang pada akhirnya negara tersebut makin makmur.
Ibnu Khaldun memiliki pandangan bahwa permintaan akan menciptakan penawaran, hal ini terjadi karena keterbutuhan manusia itu sendiri atas suatu produk. Perkembangan kumulatif diciptakan oleh infrastruktur intelektual dan hambatan pembangunan adalah karena minimnya sumber daya manusia yang terampil. Seperti yang ia katakana, “(Manusia) mencapai (produksi) dengan tanpa upayanya sendiri, contohnya lewat perantara hujan yang menyuburkan ladang, dan hal-hal lainnya. Namun demikian, hal-hal ini hanyalah pendukung saja. Upaya manusia sendiri harus dikombinasikan dengan hal-hal tersebut.”
Teori nilai yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun adalah nilai produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya. Nilai suatu bangsa bukan diukur dari uangnya, tetapi dari kapasitas produksi & neraca pembayaran yang sehat. Kapasitas produksi dihasilkan dari tenaga kerja yang baik dan membentuk peradaban yang baik pula. Dalam teori uang, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa emas dan perak sebagai ukuran nilai dan standar moneter. Perlu standar logam dan harga emas dan perak yang konstan karena uang logam bukan hanya sebagai pengukur nilai, tetapi sebagai cadangan nilai.
Teori harga yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun adalah bahwa semua harga dihasilkan dari penawaran dan permintaan, kecuali Emas dan Perak. Jika barang langka maka harga naik, sedangkan jika barang banyak maka harga turun. Dalam teori distribusi, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa harga dipengaruhi oleh gaji, laba, dan pajak. Gaji merupakan imbal jasa produsen. Harga tenaga kerja ditentukan oleh penawaran dan permintaan, serta ukuran utama harga barang. Laba merupakan imbal jasa pedagang. Membeli dengan harga hurah, kemudian menjual dengan harga mahal. Pajak merupakan imbal jasa pemerintah. Besar pajak ditentukan oleh permintaan dan penawaran produk. Ia pun menjelaskan mengenai perekonomian tiga sektor, yaitu produksi, pertukaran, dan layanan masyarakat. Tingkat Optimum tidak dapat terjadi dalam jangka panjang.
Ibnu Khaldun pun mencoba menjelaskan mengenai teori siklus. Ia mengatakan bahwa siklus populasi terjadi saat populasi sebagai faktor produksi utama mendorong populasi tumbuh dengan baik, kemudian ekonomi akan tumbuh yang menyebabkan daya tarik imigran, namun karena wilayah dan pangan yang terbatas, populasi kembali menurun. Siklus keuangan public terjadi saat pajak yang kecil akan melahirkan banyak produsen, kemudian laba akan naik. Karena banyaknya pedagang maka pajak naik yang menyebabkan gaji pemerintah pun ikut naik. Hal ini menyebabkan banyak orang lebih tertarik menjadi pegawai pemerintah, sehingga laba turun dan produsen berkurang menyebabkan turunnya pajak.
Menurut Ibnu Khaldun, suatu negeri tidak dapat tidak, harus melewati siklus ekonomi, yaitu pertumbuhan dan depresi.16 Al-Maqrizi (766 – 845 H / 1364 – 1442 M)
Al-Maqrizi memiliki nama lengkap Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir Al-Husaini. Ia lahir di Kairo pada tahun 766 H. Al-Maqrizi semula bermazhab Hanafi, kemudia bermazhab Syafi‟i, dan akhirnya bermazhab Zhahiri. Pengalamannya di Dinasti Mamluk antara lain sebagai sekretariat negara, pengawas pasar, imam dan khatib, guru, dan administrasi wakaf. Ia meninggal dunia pada 09 Februari 1442 M atau bertepatan dengan 27 Ramadhan 854 H. Karya-karyanya antara lain, Al-Niza’ wa Al-Takhashum fi ma baina Bani Umayyag wa Bani Hasyim, Al-Ilmam bi Akhbar Man bi Ardh Al-Habasyah min Muluk Al-Islam, Tarajim Muluk Al-Gharb, Al-Dzahab Al-Masbuk bi Dzikr Man Hajja min Al-Khulafa wa Al-Muluk, Syudzur Al-’Uqud fi Dzikr Al-Nuqud, Al-Akyal wa Al-Auzan Al-Syar’iyyah, Risalah fi Al-Nuqud Islamiyyah, dan Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah.
Konsep uang menurut Al-Maqrizi adalah uang untuk menentukan harga barang dan tenaga kerja, berupa emas dan perak. Sejarah uang bermula dari dinar dan dirham pada masa jahiliyah, Rasul, dan Abu Bakar. Kemudian dinar dan dirham dengan lafazh Islam pada masa Umar hingga khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Kemudian dinar dan dirham Islam pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan hingga Al-Mu‟tashim (Dinasti Abbasiyah). Terakhir fulus yang digunakan sejak Dinasti Mamluk hingga saat ini. Perubahan fisik uang terjadi dimana fulus membuat nilai uang (dinar dan dirham) turun. Akhirnya fulus boleh digunakan untuk transaksi kecil.
Teori selanjutnya dari Al-Maqrizi setelah konsep uang adalah teori Inflasi. Inflasi menurut Al-Maqrizi adalah kenaikan harga barang secara umum dan terjadi secara berkelanjutan. Inflasi alamiah terjadi seperti saat bencana alam. Bencana menyebabkan produk dan infrasturktur rusak, sehingga terjadi kelangkaan. Kondisi ini menyebabkan permintaan barang menjadi tinggi hingga terjadi inflasi. Sedangkan inflasi yang terjadi akibat human error antara lain korupsi dan administrasi yang buruk, pajak yang berlebihan, dan peningkatan sirkulasi mata uang fulus yang tinggi. Dasar-dasar inilah yang menghasilkan teori inflasi Irving Fisher yang mengatakan bahwa ada inflasi yang dihasilkan karena permintaan (demand pull inflation) dan inflasi yang dihasilkan karena penawaran (cost push inflation).
3. Ibnul Qayyim (691-751 H/1291-1350 M)
Ibnul Qayyim memiliki nama asli Muhammad Ibn Abi Bakr. Pemikiran Ibnul Qayyim mendapat pengaruh dari Ibnu Taimiyah yang menjadi gurunya selama 16 tahun. Namun dalam proses pembelajarannya, Ibnul Qayyim menaruh minat mendalam pada studi terhadap zakat. Ia pun menekankan prinsip keadilan pada pengenaan besaran zakat. Ia memperkenalkan konsep penetapan besaran zakat disesuaikan dengan keterlibatan tenaga kerja dalam suatu kegiatan produksi, dimana semakin banyak tenaga kerja yang terlibat di suatu proses produksi maka semakin kecil besaran zakatnya. Harta temuan dikenakan zakat yang tinggi (20%) karena tidak banyak buruh yang dilibatkan. Sementara hasil panen dikenakan zakat 10% untuk ladang tadah hujan, karena manusia tidak banyak melakukan upaya untuk menggarapnya. Besar zakat itu bisa turun menjadi 5% dan 2,5% jika tenaga kerja yang dilibatkan lebih banyak Pemikiran ekonomi Ibnul Qayyim yang terlihat banyak dipengaruhi pemikiran Ibnu Taimiyah adalah mengenai mekanisme pasar, fungsi uang serta konsep kaya dan miskin. Dalam mekanisme pasar, Ibnul Qayyim berpendapat harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Namun ia juga tak menafikan peran pemerintah untuk mengintervensi pasar jika terjadi ketidakadilan transaksi ekonomi di pasar.
Pemikiran Ibnul Qayyim yang juga mendapat pengaruh Ibnu Taimiyah adalah mengenai fungsi uang yang sebagai alat tukar dan alat ukur nilai. Ibnul Qayyim berpandangan bahwa menukar logam mulia dalam bentuk ornamen dengan logam mulia dalam bentuk uang dengan jumlah yang berbeda masih diperbolehkan mengingat ada biaya produksi dalam merubah logam mulia tersebut menjadi ornament, tetapi menukar logam mulia dalam bentuk koin dengan logam mulia dalam bentuk uang dengan jumlah yang berbeda tidak diperbolehkan.
Sementara, mengenai konsep kaya dan miskin, Ibnul Qayyim juga menegaskan bahwa kaya itu lebih baik dibanding miskin. Dengan menjadi kaya maka seseorang akan dapat menjalankan ibadah dengan lebih baik daripada ketika dalam kondisi miskin. Dengan memiliki kekayaan, seseorang akan bisa bersedekah lebih banyak, membangun mesjid, berhaji, dan lainnya. Ibnul Qayyim juga memaparkan pemikiran mengenai riba dan membaginya menjadi dua jenis yaitu riba Al Jali dan riba Al Khafi. Riba Al Jali terjadi jika pemberi pinjaman mengenakan tambahan biaya atau bunga atas pinjamannya, sementara riba Al Khafi merupakan riba yang samar yang selanjutnya dibagi menjadi riba al-fadl (mengenakan jumlah tambahan ketika menukar barang yang sama) dan riba al-nasiyah (mengenakan jumlah tambahan ketika pembayaran tidak dilakukan pada saat yang sama dengan transaksi).
4. Syathibi (790 H / 1388 M)
Syathibi (790 H / 1388 M) Syatibhi bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi. Ia banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu, namun ia lebih dikenal sebagai bapak ushul fiqih. Sejumlah pemikiran ekonominya banyak pula dipengaruhi oleh Imam Al Ghazali, seperti konsep maqashid syariah dan pemungutan pajak. Mengenai konsep maqashid syariah, Syatibhi mengatakan bahwa tujuannya adalah mencapai kemaslahahan umat. Hal ini menyangkut pemenuhan kebutuhan manusia yang dapat terwujud jika memenuhi lima unsur pokok kehidupan. Unsur-unsur pokok kehidupan yang dipaparkan oleh Syatibhi sama dengan Al Ghazali. Terkait tujuan maqashid syariah yaitu untuk mencapai kemaslahahan, pemikiran Syatibi juga terdapat dalam dalil-dalil ushul fiqih, seperti maslahah mursalah dan dzari‟ah.
Kemaslahahan manusia dapat terwujud bila lima unsur pokok kehidupan terpelihara, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini Syatibhi membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, tahsiniyah.23 Dharuriyat merupakan landasan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Jika dharuriyat tidak terpenuhi maka kehidupan manusia tidak akan seimbang. Sementara hajiyat dimaksudkan untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan lima unsur pokok manusia, dan tahsiniyah menjadi penghias dari kehidupan manusia. Dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat terpisahkan. Tampaknya, bagi Syatibhi, tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tashsiniyat merupakan penyempurna tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
Sementara terkait pemungutan pajak, Syatibhi juga memiliki pandangan sama dengan Ghazali, dimana pemeliharaan kepentingan umum adalah tanggung jawab bersama masyarakat. Setiap pemungutan pajak pun harus dilihat dari maslahahnya. Ia berpendapat dalam kondisi tidak mampu melaksanakannya, masyarakat bisa menyumbangkan sebagian kekayaannya melalui baitul mal. Menurut Syatibi, pemerintah juga dapat memungut pajak-pajak baru terhadap rakyatnya meski pajak-pajak tersebut belum dikenal sebelumnya dalam sejarah Islam.25 Pemikiran Syatibhi juga menyangkut konsep kepemilikan. Ia mengakui hak individu, tetapi menolak hak individu pada sumber daya yang menyangkut kepentingan umum, seperti air. Ia menekankan setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan individu harus sesuai maslahah, karena itu agama pun menjadi salah satu kebutuhan manusia. Ini berbeda dengan konsep hierarchy of needs Abraham Maslow yang tidak memuat agama sebagai kebutuhan.
5. Shah Waliyullah
Shah Waliyullah bernama lengkap Ahmad Syah bin Abdurrahim al-Umari ad-Dahlawi Abu Abdil Aziz. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Al Mutawakkil III, menjelang runtuhnya Dinasti Abbasiyah II. Pemikiran ekonominya banyak mengkritik pemerintahan yang hidup mewah, sedangkan rakyat sengsara dan menanggung beban pajak yang berat. Pemikirannya cenderung menyangkut ketentuan syariah untuk tingkah laku pribadi dan organisasi sosial. Ia pun sangat mendorong kerja sama dalam berbagai bentuk seperti bagi hasil, pertukaran, kontrak dan lainnya. Oleh karena itu, ia sangat menentang judi dan riba yang dinilainya dapat menodai semangat kerja sama.
Dalam kerangka kerja sama hidup tadi, sumber alam khususnya tanah, harus dibagihasilkan secara adil: “Dan tanah nyatanya adalah seperti masjid atau tempat istirahat yang diabadikan kepada musafir. Mereka memakainya bersama atas dasar yang datang pertama yang dilayani terlebih dahulu. Makna dari pemilikan bagi manusia hanyalah lebih berhak memanfaatkan dari yang lain.”
Di sisi keuangan negara, Shah Waliyullah berpendapat pemungutan pajak adalah hal yang penting untuk membiayai pembangunan yang menyangkut kepentingan umum, seperti jalan dan jembatan. Namun ia berpandangan pemungutan pajak hendaknya hanya dikenakan pada orang yang mampu dan terbatas pada kebutuhan umum. Shah Waliyullah juga mengkritik kegiatan ekonomi yang berlebih-lebihan. Perilaku pemimpin di masanya yang suka tampil bermewah-mewahan dan pemusatan kekayaan di beberapa orang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin longgar. Tak ayal kondisi tersebut menimbulkan penurunan ekonomi masyarakat di masa-masa akhir Dinasti Abbasiyah II. Shah Waliyullah menyimpulkan penurunan ekonomi negaranya disebabkan karena penggunaan keuangan negara untuk hal yang tidak produktif seperti memberi dukungan dana kepada penyair, orang suci dan orang yang berlagak seperti pelajar, serta membebani penggarap tanah, pedagang dan pengrajin dengan pajak yang tinggi.
Mengikuti tradisi pemikiran ekonomi Islami, ia juga membedakan antara keperluan, kenyamanan dan kemewahan, dan berpendapat bahwa elit penguasa yang pertama kali menerima gaya hidup yang berlebihan. Gaya hidup yang berlebihan dari penguasa dan ancaman tetap terhadap kekuasaan dari wilayah yang berbeda, mengharuskan mereka meningkatkan pajak terhadap orang biasa yang menambah kesengsaraan mereka dan mempercepat penurunan ekonomi.27 Gaya hidup mewah para penguasa dan kaum kaya pun mendorong produksi barang mewah yang kemudian menggeser produksi barang kebutuhan pokok. Akibatnya kelangkaan barang dan jasa kebutuhan pokok tidak terelakkan terjadi.
Sumber
- Al-Usairy, Ahmad. 2009. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media
- Karim, Adiwarman A. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada
- Perwataatmadja, Karnaen A dan Anis Byarwati. 2008. Jejak Rekam Ekonomi Islami. Jakarta: Cicero Publishing
- Tony Irawan, “Pemikiran Ekonomi Ibnu Al-Qayyim”, diakses dari http://zonaekis.com/pemikiran-ekonomi-ibnu-al-qayyim/, pada tanggal 5 April
- Respati, Yogiedan Shandy Dwi Fernandi, “Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Program Pascasarjana Universitas Indonesia”, 2012
#KamnasFoSSEI2016
#EksyarMilikBersama
#YukBelajarEkonomiIslam
Posting Komentar